PRASANGKA,DISKRIMINASI,DAN ETNOSENTRISME SEBAGAI AKAR MASALAH
KONFLIK DI INDONESIA
KONFLIK POSO
MAKALAH
INI DIAJUKAN UNTUK TUGAS MATA KULIAH ILMU SOSIAL DASAR
Disusun Oleh :
Willy Putra Delly
Kelas 1TA03
NPM: 17315158
Dosen Pembimbing:Emilianshah Banowo
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA DEPOK
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Bangsa Indonesia dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak
Haryono Putro selaku Dosen mata kuliah “Ilmu Sosial Dasar” yang telah
memberikan motivasi dan kesempatan kepada saya untuk mengerjakan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Depok, 18 November 2015
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
...............................................................................
1
1.2 Maksud Dan Tujuan
...................................................................... 2
1.3 Permasalahan
.................................................................................
2
1.4
Metode Pendekatan
...................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Demografi poso
.......................................................................... 4
2.2 Kronologi konflik poso
............................................................. 5
2.3 Tahap-tahap kerusuhan
...................................................... 6-10
- Kerusuhan Tahap I
- Kerusuhan tahap II
- Kerusuhan tahap III
BAB III ANALISIS
KONFLIK POSO
3.1 ANALISA
............................................................................ 10-15
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
......................................................................................
15
B.
Saran
................................................................................................
15
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ketika
menyebut “Poso”, hal yang terlintas dalam pikiran kita pertama kali adalah
memori konflik antar komunitas yang berkepanjangan. Kekerasan, pembantaian dan
peristiwa berdarah yang begitu mencekam seakan sudah melekat dalam persepsi
orang mengenai Poso. Sungguh menyedihkan identitas yang disandang Poso.
Padahal, panorama alam di Poso sangatlah indah seperti Danau Poso, Tentena.
Namun, kini sudah ternodai oleh hawa nafsu manusia yang haus akan darah,
sehingga mereka tega menjadikan saudara sendiri sebagai mangsa.
Sebenarnya
konflik komunal sudah sejak lama terjadi di negeri tercinta ini baik pada masa
pra kemerdekaan, maupun pasca kemerdekaan RI. Hal itu terjadi karena Indonesia
merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari berbagai suku-bangsa, ras,
bahasa, kebudayaan, dan agama. Jauh sebelum konflik Poso bergulir, terjadi
konflik antar suku di Kalimantan Barat sejak tahun 1950-an. Kemudian di masa
Orde Baru terjadi Tragedi Sampit di Kalimantan Tengah. Selain itu, konflik pun
merambah di daerah Jawa seperti, di Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan, dan
Madura.
Kerusuhan
Poso terjadi pada tahun 1998 mengguncang bangsa Indonesia. Banyak pertanyaan
yang menggelitik muncul mengenai latar belakang kasus tersebut. Apakah
kerusuhan Poso dipicu oleh sentimen keagamaan sebagai satu-satunya faktor
—seperti diklaim berbagai kalangan— ataukah terdapat faktor lain yang
melanggengkan konflik di wilayah tersebut?
1.2 MAKSUD
DAN TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan penulis mengambil tema
“Konflik Poso” pada makalah ini adalah sebagai berikut:
Untuk memenuhi tugas kelompok Religious Studies
II, di bawah bimbingan Bapak Gustiana Isya Marjani, Ph. D.
Mencoba menganalisa konflik Poso yang sudah
dilupakan oleh pemerintah. Padahal, kasus tersebut melibatkan banyak pihak yang
harus bertanggungjawab.
Mencoba mengkaji gejala yang muncul dalam
masyarakat beragama, yakni kasus Poso, dengan berbagai pendekatan.
1.3 PERMASALAHAN
Ada
berbagai permasalahan yang dapat dirumuskan dari konflik Poso yakni sebagai
berikut:
Apakah konflik Poso dilatarbelakangi oleh
kecemburuan dan kesenjangan sosial penduduk asli terhadap penduduk pendatang
atau lebih tepatnya disebabkan oleh faktor sosial dan ekonomi?
Apakah konflik tersebut lebih disebabkan oleh
faktor politik, baik politik daerah maupun pusat?
Apakah isu sentimen agama sengaja dihembuskan oleh
oknum-oknum yang berkonflik dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan dari
kasus tersebut?
1.4 METODE DAN PENDEKATAN
Adapun metode yang digunakan dalam kajian dari
kelompok kami mengenai Konflik Poso adalah Metode Deskriptif-Analitis.
Sedangkan pendekatan yang digunakan oleh pemakalah dalam mengkaji gejala yang
terjadi pada umat beragama pada konflik Poso, yaitu:
Pendekatan
Sosiologis
Fokus perhatian pendekatan sosiologis terletak
pada interaksi agama dan masyarakat. Tujuan para sosiolog mengkaji gejala yang
terjadi pada umat beragama adalah untuk membuktikan hubungannya dengan
institusi, struktur, ideologi, kelas, dan perbedaan kelompok yang dengannya
masyarakat terbentuk.
Adapun
Karakteristik Dasar Pendekatan Sosiologis, meliputi:
• Stratifikasi sosial, seperti kelas dan
etnisitas.
• Kategori biososial, seperti seks, jender,
perkawinan, keluarga masa kanak-kanak, dan usia.
• Pola organisasi sosial meliputi politik,
produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran, dan birokrasi.
• Proses sosial, seperti formasi batas,
relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi.
Pendekatan
Fenomenologis
Menurut Kristensen, tugas fenomenologi adalah
melakukan pengelompokan secara sistematik tentang karakteristik data untuk
menggambarkan watak keagamaan manusia. Fenomenologi hendak mengungkapkan
elemen-elemen esensial dan tipikal dari agama. Fenomenologi adalah prasyarat
niscaya bagi tugas filosofis dalam menentukan esensi agama.
Pendekatan
Psikologis
Pendekatan psikologis mengambil inspirasi teoritisnya
dari pengalaman personal, penelitian klinis, dan tidak jarang tulisan-tulisan
filosofis. Teori-teorinya diuji dalam konteks psikoterapi, bengkel perkembangan
individual, eksperimentasi individual dengan menginduksikan keadaan kesadaran
yang berubah.
Pendekatan
Teologis
Tujuan dari pendekatan teologis adalah memahamai
agama, memahami sistem-sistem konseptual agama, di dalam dan antara agama. Jika
tujuan ini tercapai dan terjadi pemahaman yang lebih mendalam terhadap agama,
sebagaimana terlihat melalui mode teologis yang memiliki cakupan luas.
BAB II
PEMBAHASAN
Konflik bernuansa etnis/kedaerahan dan agama
semakin meningkat pada era reformasi pada tahun 1998. Hal itu dalam tinjauan
psikologis merupakan hal yang wajar karena merupakan akumulasi dari ketidakadilan
dalam proses politik dan distribusi pada masa Orde Baru. Ditambah lagi banyak
daerah yang tidak menikmati hasil pembangunan rakyat karena sistem yang
sentralistik yang terpusat pada ibu kota Negara yakni, Jakarta.
Hal itulah yang menyebabkan masyarakat lebih mudah
terprovokasi oleh isu-isu yang dihembuskan oleh oknum-oknum yang memiliki
kepentingan dari keberlangsungan konflik. Terlebih lagi isu-isu yang bergulir
sengaja bernuansa etnis dan agama yang belum tentu benar. Isu tersebut dijadikan
senjata untuk menyulut konflik karena ampuh menyentuh lubuk sanubari masyarakat
menjadi sentimental sehingga mudah terpancing. Memang, dibandingkan dengan
kawasan Indonesia Barat, konflik di Indonesia Timur jauh lebih sering karena
kawasan Indonesia Timur terdiri dari 547 suku, sedangkan Indonesia bagian Barat
sebanyak 109 suku.
2.1 Demografi Poso
Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi
Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis
0,35-1,20 LU dan 120,12-122,09 BT. Di wilayah administratif kabupaten Poso
menyebar 13 kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami
231.891 jiwa (sensus penduduk 2000) dengan pluralitas masyarakat yang hidup
dari beragam komunitas etnis dan agama.Di samping tanah pertanian yang subur,
sebagian besar wilayah kabupaten Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi
kayu-kayuan (jenis agathis, ebony, meranti, besi, damar dan rotan), fauna yang
hidup secara endemik (anoa, babi rusa dan burung maleo) serta tambang mineral
yang cukup banyak tersebar di sekitar kawasan pegunungan.
Selain kabupaten ini memiliki penduduk yang
beragam, Poso juga memiliki latar belakang sejarah dan peradaban yang bisa
dilacak lewat warisan peninggalan kebudayaan megalit. Secara kultural
masyarakat Poso yang menggunakan bahasa Bare’e dalam komunikasi, mengikat
kekerabatan mereka dengan semboyan sintuwu maroso (persatuan yang kuat). Jadi,
sangat kontradiksi dengan semboyan mereka apabila masyarakat di Poso bisa
berseteru sengit.
2.2 Kronologi Konflik Poso
Asal mula meletusnya konflik Poso didasari oleh
berbagai faktor, yakni pemuda mabuk, sosial, ekonomi, hingga politik. Hal
tersebut berujung pada konflik keagamaan. Isu agama menjadi salah satu
pendorong munculnya tragedi Poso karena ada berberapa daerah yang
dikotak-kotakkan berdasarkan basis massa. Ada Kelompok Putih yang merupakan
representasi dari kelompok Islam, terutama berada di daerah pesisir yakni,
Toyado, Madale, Parigi, dan Bungku. Sedangkan representasi dari Kelompok Merah
terdapat di daerah pedalaman seperti, Lage, Tokorando, Tentena, Taripa, dan
Pamona.
Selain itu, konflik Poso juga disulut oleh adanya
rentetan peristiwa-peristiwa besar di Indonesia pada tahun 1998. Hal tersebut
membuat terjadinya chaos sehingga mengubah atmosfir bangsa Indonesia semakin
memanas. Berawal dari krisis ekonomi dan keuangan sejak pertengahan tahun 1997,
kemudian berakhir pada penurunan Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya.
Sistem sentralisme kekuasaan juga runtuh seketika. Padahal belum ada kesiapan
sosial dari daerah-daerah yang sudah lama termarjinalisasi. Sehingga terjadilah
kerusuhan di Sampit, Maluku, termasuk di Poso.
Konflik Poso yang muncul di permukaan pada
akhirnya lebih terlihat mengandung isu SARA (suku, agama, ras dan antar
kelompok). Menurut Ketua Umum Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Islam
(FSPUI) Poso, H. Muh. Adnan Arsal, konflik tersebut terus terjadi dan bertujuan
kembali mengadu domba antarumat beragama di Poso. Akan tetapi, bila
diperhatikan secara jeli, konflik Poso pada awalnya lebih didasarkan pada
kesenjangan politik pemerintahan yang dipicu oleh pergeseran tampuk
pemerintahan daerah/lokal dan kesenjangan sosial ekonomi.
Pergeseran kepemimpinan yang menyulut konflik dari
etnis lokal (suku Pamona) ke etnis pendatang. Hal ini berimplikasi juga
terhadap proses rekrutmen pegawai negeri sipil daerah setempat. Sementara itu,
pergeresan lokasi kegiatan ekonomi dari Poso Kota (lama) ke Poso Kota (baru)
juga merupakan faktor meletusnya konflik Poso. Kedua hal tersebut memiliki
relasi karena merupakan konsekuensi logis dari bergesernya pusat pemerintahan
akan berimplikasi pada pergeseran pusat-pusat perekonomian pula. Penduduk
pendatang pada akhirnya yang menguasai sendi-sendi kehidupan di Poso.
2.3 Tahap-Tahap Kerusuhan
Kerusuhan
Tahap I
Konflik Poso meletus karena suhu politik memanas
pada saat musim kampanye enam kandidat bupati. Mereka menjadikan agama sebagai
alat untuk memperoleh kekuasaan. Tepatnya pada Desember 1998, di tengah hujan
selebaran dan intrik politik yang bertopeng kepentingan agama, terjadi
perkelahian pemuda yang berbeda agama yakni, Islam dan Kristen.
Peristiwa tersebut terjadi tepatnya pada Jum’at,
25 Desember 1998 bulan Ramadhan 1419 H, sekelompok pemuda yang mengadakan pesta
miras (minuman keras) membuat keributan saat Shalat Tarawih berlangsung. Oleh
karena itu, pengurus masjid berusaha mengingatkan mereka. Akhirnya, para pemuda
Kristen tersebut pergi meninggalkan area masjid.
Setelah lewat tengah malam, mereka kembali. Salah
seorang pengurus masjid yang mengingatkan mereka tadi, bernama Ridwan, dikejar
oleh Roy Runtu dalam keadaan mabuk. Kejadian tersebut terjadi ketika Ridwan
sedang membangunkan sahur para warga Muslim di Kelurahan Sayo. Menghindari
kejaran Roy, Ridwan melarikan diri ke sebuah masjid (dekat pesantren), namun di
tempat itu pula ia dibacok. Ridwan sempat berteriak minta tolong dan lari
dengan meningalkan percikan darah di plafon masjid. Pada akhirnya, masyarakat
Muslim Poso bergerak untuk menghancurkan setiap kedai/toko menjual miras.
Mereka juga meminta Roy agar menyerahkan diri kepada aparat yang berwajib.
Kembali ditinjau dari psikologis massa,
permasalahan semakin rumit karena pemerintah daerah tidak menanggapi secara
serius. Akhirnya masyarakat mengambil tindakan sendiri sehingga situasi semakin
menegang. Hal itu dikarenakan massa mulai melakukan tindakan destruktif.
Provokasi terus berlanjut, kelompok massa yang
dipimpin Herman Parimo hendak menyerbu rumah dinas bupati. Isu penyerbuan itu
kontan mendatangkan reaksi dari kalangan Muslim. Tiga hari setelah Natal,
konflik yang sebelumnya terselubung akhirnya pecah. Benturan fisik dengan
senjata parang, panah, dan tombak tak terhindarkan. Opini yang beredar
selanjutnya: Di Poso Kota terjadi kerusuhan antar-agama.
Konflik yang terjadi Poso mampu membangkitkan
solidaritas yang berdasarkan sentimen agama. Tidak hanya orang-orang Poso
sendiri, tetapi juga sesama Muslim di luar daerah mereka. Setelah
didengungkannya konflik atas nama agama maka, isu politik seakan tenggelam. Hal
itu dikarenakan masing-masing dari kedua belah pihak tersulut emosi yang
seolah-seolah berusaha memperjuangkan martabat agamanya. Entah, apakah itu
benar-benar motif sesungguhnya dari kerusuhan tahap pertama ini?
Sangat mengherankan sebenarnya mengapa mereka bisa
begitu mudah menuai konflik. Padahal, sebelumnya mereka hidup berdampingan
penuh cinta kasih. Tapi, semenjak terjadinya tragedi tersebut, rasa saling
percaya yang sejak dulu mereka pupuk kini pupus sudah. Bahkan karena kecurigaan
Muslim terhadap umat Kristiani, mereka menggunakan kata-kata sandi yakni, “Pak
Nasir datang berobat lanjut ke Poso” yang berarti akan ada penyerangan kaum
Nasrani ke Poso, Dalam kajian sosiologis, kondisi demikian sebetulnya
mencerminkan adanya sebuah realitas dari psikologi sosial yang tegang.
Kerusuhan
Tahap II
Suhu yang semakin memanas di kabupaten Poso
menyebabkan kerusuhan jilid kedua berkobar tak terelakkan lagi. Tepatnya pada
16-17 April 2000, massa dari pihak Kristen dan Islam sama-sama memanggul
senjata. Peristiwa itu terbukti dengan bebasnya orang menenteng senjata di
jalan umum. Memang senjata yang digunakan masih tradisional seperti, panah,
parang, dan tombak. Akan tetapi, hal itu cukup meresahkan karena
mengindikasikan semangat yang membara untuk melanjutkan konflik. Kondisi
tersebut berkembang liar karena aparat keamanan tak dapat melerai perseturuan
massal tersebut dengan alasan kekurangan personel.
Sebenarnya motif mereka masih samar, apakah
kerusuhan tersebut sengaja diperpanjang karena demi membela kesucian agama?
Ataukah karena dendam yang dipupuk, hingga mereka tak kuasa memuntahkannya
dalam bentuk konflik? Berdasarkan pengamatan intelijen, pada kerusuhan tahap
kedua inilah bala bantuan mulai bermunculan dari luar Poso, baik berupa
makanan, obat-obatan, bahkan senjata.
Pada tahap kedua ini, muncullah Fabianus Tibo
bersama 13 orang temannya. Tepatnya pada tanggal 22 Mei 200, sekitar pukul dua
dini hari, kelompok Tibo bergerak dari kelurahan Gebang Rejo memasuki Poso Kota
bersama pasukannya. Dia tidak segan-segan menghadapi musuh-musuh yang
menghalanginya dengan sekali tebas. Jagal dari Poso tersebut dikenal sebagai
komandan Laskar Kelelawar Hitam, yang disebut sebagai pasukan Kristen. Walaupun
sesungguhnya Tibo dan kawan-kawan bukanlah satu-satunya tokoh yang berperan
dalam konflik Poso. Namun, mereka sangat mencolok karena berpakai serba hitam
dan bengis menghabisi nyawa musuhnya.
Kerusuhan
Tahap III
Masyarakat Kristen mulai merapatkan barisan dengan
melakukan pengorganisasian yang intensif. Hal itu terinspirasi dari masyarakat
Muslim yang lebih terkordinir pada periode pertama dan kedua. Upaya tersebut
dilakukan untuk melakukan serangan balik kepada pasukan Muslim. Strategi dari
mereka adalah melakukan penyerangan di saat Muslim masih lengah. Tak
disangka-sangka, kelompok Kristen menyerang kelompok Muslim dari lima penjuru
kota Poso.
Kerusuhan jilid ketiga ini berlangsung
berhari-hari membuat kelompok Muslim semakin terdesak. Akan tetapi kondisi
diperparah karena bala bantuan tidak bisa masuk ke Poso. Hal itu dikarenakan
jembatan yang dirusak dan jalan-jalan menuju Poso Kota dihalangi dengan kayu
gelondongan. Dalam perang terbuka yang melibatkan ribuan orang itu, senjata
organik mulai memuntahkan peluru ke hamparan massa. Aparat keamanan dibuat tak
berdaya dan bertahan seadanya di bangunan-bangunan pemerintah yang berlokasi
strategis. Gagal memasuki Poso Kota, kelompok Kristen kemudian membumihanguskan
beberapa kecamatan di Poso Pesisir.
Kemudian pada 5 April 2001, Tibo, Dominggus dan
Marinus Riwu dijatuhkan vonis mati. Mereka dituduh melanggar Pasal 340, 187,
351 juncto Pasal 55 dan 64 KUHP. Pada persidangan, Tibo menyampaikan surat yang
ditulis tangan kepada Majelis Hakim, berisikan tentang sejumlah 16 nama yang
selama ini menjadi penyuplai logistik bagi pasukannya selama kerusuhan Poso berlangsung.
Menurut Tibo, Yahya Pattiro SH yang saat itu menjabat sebagai Asisten IV
Sekretaris Daerah Sulawesi Tengah dan Drs Edi Bungkundapu yang saat itu
menjabat sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulteng,
menjadi aktor intelektual dalam rusuh Poso Mei hingga Juni 2000. Selain itu,
Tibo juga menyebutkan Tungkanan, Limpadeli, Erik Rombot, Angki Tungkanan
sebagai aktor yang berperan dalam kerusuhan Poso. Pada akhirnya, keputusan
memvonis mati Tibo dkk menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Arianto Sangaji menyatakan bahwa masa depan
keamanan di sana sangat bergantung pada kemauan pemerintah. Pertama, kemauan
untuk menyelesaikan masalah, dengan tidak bertumpu pada pendekatan keamanan.
Pemerintah harus menghentikan solusi primitif penyelesaian kasus Poso dengan
pengerahan pasukan bersenjata. Kedua, selesaikan kasus-kasus kekerasan Poso
secara menyeluruh, tidak per kasus. Kasus Tibo merupakan contoh di mana
pemerintah menggunakan kacamata kuda dengan memistifikasi Tibo cs seolah-olah
sebagai faktor penting dalam kekerasan. Padahal tidak hanya Tibo cs yang harus
bertanggungjawab atas terjadinya konflik Poso.
Walaupun provokator menjamur di Poso sehingga
menyulut konflik, akan tetapi banyak pihak yang mengupayakan perdamaian. Salah
satu tokoh yang berupaya keras untuk menyelesaikan konflik tersebut adalah
Yusuf Kalla yang menjabat Menko Kesra pada kabinet Megawati. Jalan penyelesaian
tersebut ditembuh dengan ditandatanganinya Deklarasi Malino tanggal 20 Desember
2001.
Deklarasi Malino ditandatangani oleh Kelompok
Islam dan Kristen yang bertikai di Poso, Sulawesi Tengah. Mereka sepakat untuk
berdamai dan menghentikan konflik. Kesepakatan itu diperoleh setelah seluruh
pimpinan lapangan dan perwakilan kedua kelompok menandatangani perjanjian damai
di Malino, Gowa, Sulawesi Selatan. Deklarasi dibacakan Menko Kesra Jusuf Kalla
selaku mediator. Dalam kesempatan tersebut, kedua pihak menandatangi
kesepakatan yang terdiri dari sepuluh butir :
Menghentikan semua bentuk konflik dan
perselisihan.
Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan
mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil
untuk menjaga keamanan.
Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak
memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak asing.
Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran
terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu
sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia.
Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal
secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan
ke pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan
berlangsung.
Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal
masing-masing.
Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana
dan prasarana ekonomi secara menyeluruh.
Menjalankan syariat agama masing-masing dengan
cara dan prinsip saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah
disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan pemerintah dan ketentuan
lainnya.
Tapi, deklarasi itu tampaknya memang bukanlah
lampu aladin yang sanggup menyulap Poso dalam damai. Poso yang lepas dari teror
dan kekerasan. Dalam waktu yang tak terlalu lama, deklarasi itu seperti
mengalami proses deregulasi. Dihancurkan sendi-sendinya dan konflik kembali
mengharu-biru hingga Agustus 2003. Dilanjutkan pada Jum’at, 10 Maret 2006 pukul
07.45 Wita ledakan bom terjadi lagi, kini di kompleks Pura Agung Jagadnata,
Kelurahan Toini Kecamatan Poso Pesisir Utara, Sulawesi tengah. Komando
Pemulihan Keamanan (Koopkam) Poso yang sudah beberapa waktu lalu dibentuk tak
bisa melakukan antisipasi dini sehingga bom tetap meletus.
Senin 22 Januari 2007, situasi kota Poso memanas
sejak sekitar pukul 08:30 Wita, terdengar suara rentetan tembakan di Jalan
Pulau Irian Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota. Hasilnya, dua warga Poso bernama
Paijo (40) dan Kusno (35) mengalami luka tembak karena peluru nyasar akibat
peristiwa baku tembak antara pihak kepolisian dan para Daftar Pencarian Orang
(DPO) Poso di Jalan Irian, Poso Kota. Dari sinilah terlihat adanya pergeseran
isu konflik, dari agama menuju konflik antara aparat dengan warga.
BAB III
ANALISIS
KONFLIK POSO
3.1 ANALISA
Situasi yang tergambar dari konflik Poso sungguh
mengerikan. Banyak rumah-rumah yang terbakar karena terjadi pembumihangusan.
Selain itu, mayat-mayat bergelimangan darah menjadi pemandangan yang biasa.
Ditambah lagi, setiap detik warga saling bertikai. Aksi teror bom memburu waktu
dan senjata otomatis menjamur di kalangan sipil. Tapi, di lain sisi terdapat
banyak warga yang mengungsi tak mendapat akses bantuan. Pertanyaannya, apakah
persoalan di Poso begitu misterius sehingga kekerasan demi kekerasan tidak
teratasi?
Bila dikaji lewat pendekatan sosiologis dan
fenomenologis, konflik yang terjadi di Poso berhembus seiring merebaknya
ketidakadilan lokal. Hal tersebut berpangkal pada kebijakan pemerintahan pusat
yang sentralistik dan diskriminatif. Ketidakadilan yang sudah mendarah daging
diamini oleh masyarakat lokal yang menyusupkannya pada isu SARA (suku, ras,
agama, dan antar kelompok). Pada akhirnya, rasa ketidakadilan yang terus
dipupuk oleh warga tumbuh dengan subur. Sehingga, motif etnis dan agama menjadi
lahan empuk terciptanya konflik yang bermuara pada konflik agama.
Pengkerucutan konflik Poso hanya semata problem
antarkomunitas, sesungguhnya keliru. Hal itu dikarenakan tragedi tersebut
merupakan akumulasi kekerasan yang melibatkan masyarakat, aparat keamanan,
birokrasi sipil, politisi, dan pengusaha. Motifnya beragam, mulai dari
kemarahan korban, eksploitasi terhadap doktrin agama, hingga eksploitasi atas
hal itu untuk menarik keuntungan ekonomi dan politik dari kekerasan yang
terjadi.
Bila dilihat dalam kacamata psikologis, suasana
konflik di Poso dapat diilustrasikan dengan mengentalnya identitas sosial
dengan fenomena in-group dan out-group. Kedua fenomena tersebut berkenaan
dengan persepsi mereka terhadap kelompok lain, serta eksistensi dan teritori.
Atas dasar itu, muncullah oknum-oknum yang berencana menciptakan kerusuhan
dengan membentuk sentimen yang ada di masyarakat.
Ditambah lagi sempat adanya ulur waktu yang
dilakukan oleh aparat pemerintahan terhadap penyelesaian konflik Poso. “Aparat
fokus mengejar teroris dan koruptor. Namun, untuk teroris, yang dikejar adalah
masyarakat Muslim seperti kami. Selama ini kami merasa ada upaya sengaja
memelihara konflik. Masyarakat serta tokoh Muslim dan Kristen sebenarnya sudah
membentuk forum bersama, tetapi setelah itu masih saja ada teror muncul,” ujar
Adnan Arsal.
Setelah Deklarasi Malino, banyak pihak yang
berpikir keras untuk mengupayakan penyelesaian konflik Poso. Akan tetapi, perlu
diperhatikan masalah krusial yang sewaktu-waktu menjadi bom waktu, apabila
perdamaian hanya pada tataran konsep. Pertama, banyak bermunculan komplain dari
warga karena adanya diskriminasi penanganan konflik Poso. Ketidakpuasan
masyarakat terhadap proses hukum di negeri ini berpotensi menyulut konflik
lagi.
Kedua, dalam upaya penyelesaian konflik,
pemerintah mengabaikan aspek sosial dan ekonomi. Banyak dari mereka yang
tinggal di pengungsian kehilangan rasa aman. Ditambah lagi hak milik para
pengungsi yang jatuh kepada pihak lain. Selain itu dalam wilayah ekonomi,
mereka bisa tersulut emosinya karena alokasi dana telah dikorupsi oleh aparat
birokrat. Sementara itu, mekanisme jual beli maupun pemanfaatan hasil pertanian
tidak dinikmati sepenuhnya oleh mereka. Konflik juga menyebabkan perekonomian
lumpuh sehingga pengangguran merajalela. Aspek sosial dan ekonomi perlu
dieprhatikan secara serius oleh pemerintah karena sama pentingnya dengan aspek
keamanan.
Ketiga, penyelesaian masalah korupsi yang tak
kunjung usai. Walaupun Inpres No. 14/2005 sudah mengungkap korupsi yang
dilakukan oleh dua mantan pejabat Sulawesi Tengah. Akan tetapi, korupsi dana
bantuan pengungsi merajalela tanpa tersentuh hukum. Hal itu dikarenakan korupsi
melibatkan dan mendapat proteksi politik dari para pejabat. Bahkan teror
disinyalir sebagai upaya melanggengkan praktik korupsi. Selain itu, sebagai
pertimbangan untuk mencegah konflik Poso adalah dengan menerapkan prinsip
“persatuan geneologis yang masih kuat” dan “persatuan atas dasar kepentingan”.
Abd Moqsith Ghazali menyatakan dalam artikel
“Poso” bahwa sejumlah analisa beredar di lingkungan masyarakat. Salah satunya,
tentang adanya pihak-pihak tertentu yang ingin memelihara kekerasan di sana.
Jika itu motifnya, maka alangkah jahatnya pihak yang telah menjadikan saudaranya
sebagai tumbal untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka lebih mementingkan
kekuasaan politik dan ekonomi ekonomi-finansial di atas timbunan darah
orang-orang yang tak berdosa.
David Bloomfield dan Ben Reilly melakukan
penelitian atas berbagai konflik horizontal yang terjadi di Negara-negara Dunia
Ketiga. Menurutnya, ada dua elemen kuat yang menjadi pemicu terjadinya konflik
berkepanjangan. Pertama adalah elemen identitas, yaitu mobilisasi orang dalam
kelompok-kelompok identitas komunal yang didasarkan atas ras, agama, kultur,
bahasa, dan lainnya. Kedua adalah elemen distribusi, yakni cara untuk membagi
sumber daya ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah masyarakat.
Kita dapat menerapkan kedua elemen tersebut pada
konflik Poso. Konflik yang terjadi Poso berakar dari distribusi baik ekonomi,
social dan politik yang tidak adil berkenaan dengan perbedaan identitas. Maka
ketika terjadi gesekan-gesekan sosial sudah representatif untuk menyulut
konflik yang massif dan berkepanjangan. Konflik Poso sangat dipengaruhi oleh
isu indetitas (etnis dan agama) dan isu distribusi. Adanya perbuatan dari
kelompok etnis/agama tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan
kelompok identitas lainnya. Selain itu, penguasaan lapangan kerja yang
berpindah alih turut menjadi salah satu faktor terjadinya konflik.
Konflik berdasarkan identitas bersinggungan dengan
pendistribusian sumber daya seperti, wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek
lapangan kerja dan seterusnya. Hal tersebut menciptakan kesempatan bagi para
oportunis untuk memperpanjang konflik. Masyarakat sangat mudah terprovokasi dan
belum terbiasa dengan keterbukaan. Sehingga hal tersebut menjadi faktor
penunggu yang potensial terhadap munculnya konflik.
Selain pada tataran horizontal, terdapat juga
konflik pada level vertikal. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni
pihak eksekutif, legislatif, judikatif dan Hankam terlambat dalam koordinasi
dan penghimpunan berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk mencegah konflik
semakin meluas. Langkah aparat yang melakukan kekerasan justru semakin
memperkeruh suasana sehingga konflik makin berkepanjangan.
Bila dilihat dari sisi politis, terlihat adanya
unsur kesengajaan untuk memperpanjang konflik dari berbagai pihak yang tidak
setuju dengan reformasi. Mereka menyebarkan informasi untuk mempengaruhi opini
publik. Isu yang dihembuskan adalah Orde Baru merupakan era yang lebih baik
daripada Reformasi. Sebagai bukti yang mereka tunjukkan, ketika Orde Baru,
Indonesia begitu tentram dan berdaulat. Namun, ketika kekuasaan Status Quo
runtuh, negeri ini bergejolak. Mereka sengaja menciptakan konflik dimana-mana
dengan memprovokasi rakyat, termasuk konflik di Poso. Masyarakat dibenturkan
dengan isu etnis dan agama yang sangat sensitif sehingga mudah menyulut
konflik. Oleh karena itu, tesis mereka bahwa pemerintahan Orde Baru lebih baik
daripada Era Reformasi yang kacau balau, diamini oleh rakyat Indonesia.
Di sisi lain, nampaknya konflik yang berdampak
kerusuhan ini merupakan bagian dari skenario konspirasi besar pihak asing untuk
menghancurkan tatanan bangsa ini dari segi keutuhan (kohesi), stabilitas
ekonomi dan pembenturan rakyat dengan TNI-Birokrasi. Ini terlihat dari yel-yel
yang dieluk-elukkan tidak hanya di Poso, akan tetapi di wilayah konflik seperti
Ambon dan Ternate. Mereka meneriakkan Hidup Amerika! Hidup Australia! Hidup
Belanda!
Ada beberapa hal berkenaan dengan faktor-faktor
yang melanggengkan Kerusuhan Poso. Pertama, berkaitan dengan peran aparat
Negara, Polri, dan TNI. Terdapat dua kubu penafsiran. Kubu pertama mengatakan
militer, setidaknya ikut bermain dalam konflik berdarah di Poso dan juga di
tempat konflik lainnya. Menurut Dedy Askary, dari Lembaga Pengembangan Studi
Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia di Palu, keterlibatan aparat keamanan
disebabkan tiga hal yakni, mental aparat, rantai komando, dan konflik internal
di kalangan mereka. Kubu kedua berpendapat bahwa aparat keamanan gagal karena
keterbatasan personel dan sumber daya. Pendapat ini paling sering dikemukakan
perwira militer dan polisi. Tapi kedua kubu minimal mengakui ketidakmampuan
aparat membuat segala upaya perdamaian berujung kegagalan.
Polri dan TNI berkepentingan dengan konflik ini
dengan beberapa argumen. Pertama, akibat konflik dan kerusuhan, masyarakat
menjadi trauma dan ketakutan. Pada saat itu masyarakat akan membutuhkan
kehadiran aparat Negara. Dalam soal ini, konflik yang terjadi cenderung
diawetkan untuk dapat memulihkan citra baik kepada Polri dan TNI. Kedua,
konflik yang menahun telah mendatangkan biaya pengamanan tersendiri. Pengerahan
pasukan memerlukan biaya. Dengan demikian konflik memiliki benefit impact
tertentu.
Selain aparat Negara, polri, dan TNI yang berperan
dalam melanggengkan konflik Poso, ada juga elit lokal. Dapat diidentifikasikan
bahwa adanya peran terselubung dari elit lokal di daerah itu demi kepentingan
kekuasaan yang didominasi kepentingan golongan suku dan agama. Keterlibatan
aparat lainnya terbaca dengan mencuatnya beberapa kasus KKN yang diduga
melibatkan birokrasi dan elit politik lokal. Hal ini diperkuat dengan pernyataan
LSM bahwa konflik Poso jelas terkait dengan korupsi dana kemanusiaan. Dari
inidikasi itu, aliansi Ornop menilai ada korelasi positif antara kekerasan di
Poso yang bermuara pada peledakan bom di Pasar Tentena dengan korupsi
sistematik yang dilakukan elit. Korupsi itu dilakukan oleh sejumlah pejabat dan
berjalan secara akumulatif selama empat tahun.
Konflik tersebut semakin complicated karena masih
ada lagi yang berperan dalam konflik Poso yakni, kehadiran pasukan terlatih.
Banyaknya solidaritas dari luar Poso disebabkan oleh ketidakmampuan aparat
pemerintah daerah dan keamanan dalam melindungi warga. Diantaranya adalah
kehadiran laskar Jihad yang disinyalir mengirim 3.000 pasukan jihad ke Poso.
Alasan utama mereka ialah untuk memberikan bantuan medis, pendidikan, dan
pemberantasan tempat-tempat maksiat. Tidak hanya kelompok Muslim, akan tetapi
kubu Kristen juga mendapatkan bantuan dari Laskar Manguni, Laskar Kristus, dan
Front Kedaulatan Maluku. Dari hal tersebut mengindikasikan bahwa fenomena yang
merebak di masyarakat bahwa Konflik Poso adalah “perang agama”.
Isu yang sengaja dihembuskan oleh BIN (Badan
Intelijen Nasional) bekerja sama dengan Amerika yakni, Poso merupakan markas
latihan anggota gerakan Al-Qaeda. Tudingan dari Kepala BIN, Hendropriyono
menuai kritik keras karena tanpa bukti dan dasar yang kuat. Hal itu dinyatakan
oleh Zainal Abidin Ishak selaku Kepala Kepolisian Sulawesi Tengah. Desa Kapompa
yang disebut Kepala BIN sebagai markas teroris sangat paradoks. Hal itu
dikarenakan desa Kapompa mayoritas penduduknya beragama Kristen. Poso memang
sudah menjadi wilayah perang jadi, wajar saja bila banyak kamp-kamp militer.
Hal itu dikarenakan karena kedua kelompok mengadakan latihan perang. Tapi,
wilayahnya di Poso Kota, di pegunungan sekitar Pamona Utara dan Lage. Selain
itu juga terdapat pasukan terlatih yang berasal dari pasukan-pasukan organic
Polri dan TNI yang mengamankan Poso.
Konflik Poso menyisakan luka yang mendalam karena
kedamaian telah direnggut oleh hawa nafsu manusia yang haus darah. Tentunya
konflik tersebut berbuah dendam yang membara dan sewaktu-waktu bisa meledak
apabila disulut kembali oleh provokator yang tidak bertanggung jawab. Kekerasan
sudah menjadi hal yang lumrah di tanah Poso yang menjadi mata rantai tak
terputuskan. Tapi, kita harus optimis bahwa Poso tidak akan lagi berdarah.
Masih ada hati dalam sanubari manusia sebagai makhluk Tuhan. Perbedaan agama
bukanlah penghalang menciptakan kerukunan. Hal itu dikarenakan rakyat Poso
mempunyai semboyan pengikat persatuan yakni, sintuwu maroso (bersatu kita
kuat).
Selain itu, kebijakan otonomi daerah dewasa ini
diharapkan dapat menciptakan keadilan bagi setiap daerah. Jadi, diharapkan
tidak ada lagi kesenjangan sosial akibat sistem yang sentralistik. Janganlah
menyusupkan kepentingan pribadi di daerah ini sehingga menghalalkan darah
saudaranya sendiri. Ciptakanlah kedamaian di negeri tercinta yang pluralistik.
Ditambah lagi pendidikan berbasis budaya yang digali dari kearifan lokal. Semua
itu demi memperkuat nilai-nilai universal dan semangat kebangsaan. Sehingga
tidak ada konflik lagi yang berhembus di negeri ini.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konflik yang terjadi di poso pada tahun 1998
merupakan konflik yang sangat besar yang menewaskan 2 kubu yakni kelompok islam
dan Kristen. Konflik ini disebabkan oleh politik yang memanas yang
mengatasnamakan agama untuk kepentingan individual atau kelompok tertentu agar
menjadi pemenang dalam politik tersebut.hal ini sangat disayangkan sekali
mengingat politik esensinya tidak boleh mengumbar atau mengatasnamakan agama
untuk jalan pemenangan karena hal tersebut tentu saja bisa menimbulkan hal-hal
yang membuat perpecahan. Akibat dari konflik tersebut poso sebagai kota
imagenya menjadi kurang baik karena adanya konflik tersebut sehingga kota tersebut
tidak lagi menjadi prioritas kunjungan wisatawan local maupun mancanegara.
4.2 Saran
Konflik poso memang sudah terjadi dan menjadi
sejarah kelam bangsa ini, sekaligus mencoreng solidaritas Negara dan mencoreng
toleransi antar agama di Indonesia. Maka dengan ini kelompok I sebagai
pemakalah menyarankan agar kiranya rasa solidaritas dan toleransi tetap
dijunjung tinggi. Serta pengusutan oleh pihak yang berwenang terus mempelajari
kasus ini agar dikemudian hari tidak terjadi lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU :
Basoeki Soeropranoto. H. Rachmat. Jangan Lupakan
Poso. Mantan Napol Kasus Peledakan BCA 1984.
Conolly (ed.), Peter. Aneka Pendekatan Studi
Agama. Yogyakarta: LKiS. 2009. hal. 283.
DWA. FSPUI Protes Stgmatisasi Teroris oleh Aparat.
Kompas, 14-3-2006.
Ghazali, Abd Moqsith. Poso.
Manullang, A. C. Terorisme dan Perang Intelijen:
Behauptung Ohne Bewes (Dugaan Tanpa Bukti). Jakarta: Manna Zaitun.
Sangaji, Arianto. Masa Depan Poso Pasca-Koopskam,
Kompas 17-7-2006.
Sangaji, Arianto. Mengapa Poso Kembali Memanas?
Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka, Palu. Kompas, 9-10-2006.
Sianturi S.Si, Eddy MT. Konflik Poso dan
Resolusinya. Puslitbang Strahan Balitbang Dephan.
WEBSITE :
Komentar
Posting Komentar